Moeldoko Dipaksa Mundur Agar Tidak Jadi Beban Presiden Jokowi
Rachland mengatakan hal itu seharusnya dilakukan Moeldoko jika tidak ingin membebani Presiden Jokowi dan koleganya di pemerintah dari protes publik akibat upaya pengambilalihan Partai Demokrat dari pemimpin yang sah, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), melalui KLB Deli Serdang, Sumut.
"Jalan terbaik bagi @GeneralMoeldoko adalah mundur dari Ketum abal-abal hasil KLB ilegal. Dengan begitu, ia lepaskan Presiden dan koleganya di pemerintah dari beban tak perlu dan sasaran protes publik," kata Rachland melalui akun Twitter @RachlanNashidik, Jumat (12/3/2021).
Rachland juga mengatakan mundurnya Moeldoko dari ketum versi KLB akan membuat Presiden Jokowi memiliki alasan untuk tetap mempertahankannya di Istana Kepresidenan. Sementara itu, sejumlah pihak sempat menyuarakan agar Jokowi mencopot jabatan Moeldoko sebagai Kepala KSP sehubungan dengan keterlibatannya dalam upaya mengambil alih kepemimpinan Partai Demokrat.
Salah satu yang menyampaikan hal tersebut ialah Guru Besar Pemikiran Politik Islam FISIP UIN Jakarta Din Syamsuddin. Dia menilai Moeldoko layak dipecat dari jabatan sebagai kepala Staf Kepresidenan atas keterlibatannya dalam Kongres Luar Biasa atau KLB Demokrat.
Syarat Pemecatan
Din mengatakan, pemecatan bisa dilakukan jika Moeldoko belum mendapat izin dari Presiden Jokowi. "Jika beliau tidak pernah mengizinkan maka Jenderal (Purn) Moeldoko layak dipecat dari KSP, karena merusak citra Presiden, dan jika dia memimpin partai politik maka akan mengganggu pelaksanaan tugasnya sebagai KSP," kata Din Syamsuddin dalam keterangannya, Senin (8/3/2021).
Disebut, jika Jokowi mengizinkan atau memberi restu, maka dapat dianggap Presiden telah mengintervensi sebuah partai politik dan merusak tatanan demokrasi. Menurut Din, KLB Demokrat menampilkan atraksi politik dan tragedi demokrasi yang fatal.
Pelaksanaannya membuktikan bahwa upaya pendongkelan terhadap kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai Ketua Umum Partai Demokrat yang sempat dibantah oleh pihak yang dituduh sebagai pelaku ternyata bukan isu apalagi rumor. "Bantahan itu telah berfungsi semacam self fulfilling prophecy atau hal yang diciptakan untuk menjadi kenyataan," ujarnya.
Dari informasi yang diterima, kata Din, pelaksanaan KLB yang menetapkan kepemimpinan Moeldoko itu tidak berizin dan tidak sesuai dengan AD/ART Partai Demokrat, serta bertentangan dengan paradigma etika politik berdasarkan Pancasila.
Dia menilai hal yang tepat dan terbaik bagi pemerintah adalah menolak keputusan KLB tersebut. "Jika Pemerintah mengesahkannya maka akan menjadi preseden buruk bagi pengembangan demokrasi Indonesia, dan menciptakan kegaduhan nasional," pungkas Din.
Comments
Post a Comment